Indonesia Untuk Penghasil Kayu Terbesar (Program Masa Depan)

27 10 2010

Sekarang, Indonesia rupanya sedang bingung saat menentukan apakah akan menstop penebangan hutan yang faktanya sudah tinggal sedikit, ataukah dengan menanam sebanyak-banyaknya sehingga pada saatnya nanti, tiba-tiba saja Indonesia kaya dengan hasil hutan.  Menarik, bukan?

Perlu disadari, bahwa untuk menghasilkan luasan hutan dengan density(kepadatan) pohon seperti di Kalimantan, Sumatra dan Papua pada beberapa masa lalu sangat susah. Hal ini dibatasi dengan kemampuan tumbuh pohon, lingkungan, iklim, dan kemampuan adaptasi pohon.

Berbeda dengan dunia pertanian, seorang petani dengan tanaman padi kualitas unggul, dewngan perawatan yang baik dan lingkungan iklim sekitar yang memadai akan menghasilkan bulir padi yang dapat dipanen 3 bulan. bandingkan dengan pohon yang dalam pertumbuhannya memerlukan asupan yang lebih banyak karena harus memadatkan batang kayunya. Untuk itu, suatu spesies pohon kehutanan hanya mampu dipanen minimal 5 tahun sekali. Artinya pohon baru bisa ditebang 5 tahun setelah menanam. Sebagian besar spesies malah lebih lama. Contohnya jati yang umumnya baru bisa dipanen pada umur 30-50 tahun, tergantung pada tingkat kesuburan tanah tempat tumbuh (bonita). Maka, perlu cara yang cerdik agar negara ini bisa menjadi penghasil kayu terbesar dalam waktu yang relatif singkat.

Tapi apa tidak mustahil?

Tidak mustahil jika kita terus berpikir cara terbaiknya. lalu sekarang, apa yang kita lakukan? Jawabnya tidak ada cara lain selain penanaman. Ini yang menarik. Di dunia yang serba instan ini, semua kita harapkan bisa kita dapat secara instan. Untuk menyelesaikan masalah ini, cara yang harus kita pakai hanya cara tradisional, penanaman. Tapi tekniknya harus sudah modern. (Tradisional tetapi modern). Tradisional karena kita harus repot-repot menanam, namun teknik modern, sesuai dengan kebutuhan.

Penanaman harus dilakukan besar-besaran. Bisa saja akan melibatkan seluruh elemen masyarakat. Mungkin lebih baik diadakan Tahun Menanam 2011 agar program ini sukses. Dengan adanya program ini, masyarakat di harapkan dapat berpartisipasi menanam dan memelihara pohon (kemudian disebut Pohon Asuhan). Pohon yang ditanam adalah pohon Fast Growing Species (yang cepat tumbuh), misalnya jabon, sengon, acacia, dll. Dengan begitu, pada +- 5 tahun kemudian, dapat kita bayangkan berapa banyak pohon yang akan kita hasilkan bersama.Bekerja bersama itu sangat mengasyikkan. Ibarat kita berpuasa Ramadhan, semua kaum muslim berpuasa sehingga puasa itu seperti hanya kebiasaan saja.

Untuk langkah selanjutnya, perlu adanya program lanjutan. Saat pohon siap tebang (masa daur pohon), maka diperlukan industri terkait. Untuk kayu sengon dan jabon, industri yang bisa kita lirik misalnya industri pulp, industri papan partikel, veneer, dll. Produksi dapat dilakukan secara besar besaran. Setelah itu, hasilnya akan kembali kepada kita berupa uang pembelian ataupun produk, tanpa impor.

Dengan adanya program berkelanjutan seperti ini, akan ada beberapa keuntungan :

1. Negara Indonesia dapat dikenal sebagai negara penghasil kayu terbesar di dunia.

2. Negara Indonesia dikatakan sebagai penyelamat lingkungan karena telah membuat hijau seluruh Indonesia, juga mengurangi emisi karbon dunia.

3. Masyarakat memiliki modal dan pekerjaan yang berlimpah. Dengan adanya penanaman pasti banyak pekerjaan baru yang akan menggaji mereka.

4. Munculnya industri-industri perkayuan yang juga akan menambah mata pencaharian masyarakat.

5. Keuntungan dari pohon asuhan yang cukup besar, kemiskinan otomatis berkurang!

6. Mendidik anak-anak Indonesia menjadi peduli lingkungan.

7. Devisa dari ekspor kayu.

Kerugian :

1. Pohon yang ditanam bisa merusak ekosistem yang ada (karena kemampuan tumbuhnya lebih cepat dari pohon hutan alam).

2. Bisa ada serangan hama dan penyakit terhadap pohon (perlu ahli kehutanan.^_^)

3. Pencurian kayu (dapat diminimalisasi karena dijaga oleh masyarakat)

4. Pemerintah harus bekerja ekstra karena harus melakukan sosialisasi (Itulah fungsi mereka, toh!).





Solusi Banjir di Tanah Air

21 10 2010

Melanjutkan pembahasan saya yang sebelumnya, saya ingin memberikan sedikit solusi yang dapat diterapkan untuk kota-kota yang sering terkena banjir, contohnya Jakarta dan juga untuk kota-kota lain yang juga rawan banjir. Masalah banjir adalah masalah lingkungan. Tidak bisa yang lain. Maka, jika ingin menyelesaikannya, perlu ada sedikit ataupun banyak perubahan kearah alam yang harus dilakukan. Perubahannya memang tidak bisa langsung. Namun, bertahap, sedikit-demi sedikit. Namun, saya percaya perubahan ini akan benar-benar terasa di kemudian hari. Kata dosen saya, prospek pertanian memang untuk saat ini. Tetapi prospek kehutanan adalah untuk masa depan.

Cara pertama : Menanami daerah-daerah resapan. Daerah resapan air termasuk kawasan lindung*. Yang dinamakan daerah resapan adalah daerah yang saat hujan turun, tanah di bawahnya dapat menyerap air itu agar tidak terjadi aliran permukaan (surface run-off). Saya sangat menyayangkan para pejabat yang membuat villa-villa di bukit-bukit Gunung Salak. Dengan mengubah permukaan puncak bukit menjadi semen, tanpa pepohonan, maka seberapa air yang tidak bisa diserap, dan mengalir di permukaan, lalu menjadi banjir. Dengan menanami bukit-bukit itu, tanah kembali memiliki kemampuan daya serap sehingga air dapat terserap. Secara alami, akar pepohonan bahkan rumput dapat mengurangi aliran air permukaan. Maka, dengan menanam pohon dan tumbuhan lain, banjir dapat dikurangi.

Cara kedua : Perhatikan daerah aliran sungai (DAS). Daerah ini sangat penting, dan menurut Keppres no 32 tahun 1990 mengenai kawasan lindung, DAS merupakan kawasan lindung, dan tidak boleh ada perusakan di kawasan lindung. Jika DAS ini rusak maka tanah di kanan kiri sungai akan terbawa air, kemudian akan mengendap di dasar sungai. Hal itu berarti pendangkalan badan sungai yang dapat mengakibatkan banjir. Langkah lain mengenai DAS adalah naturalisasi. Naturalisasi adalah pembuatan kembali bentuk sungai secara buatan(retarding basin=daerah parkir air). Langkah ini pernah terjadi pada sungai Rhein di eropa karena dilakukan pelurusan sungai. Sungai dibuat berkelok kelok sehingga arus sungai dapat diredam dan tidak merusak tepi sungai. Pembetonan juga akan mengakibatkan percepatan aliran sungai sehingga sedimentasi juga lebih mudah terjadi.

Cara ketiga : Pemerintah harus tegas. Peraturan yang sudah ada sebaiknya dilaksanakan. Minimal ada tim yang kenar-benar kompeten yang mampu mengatur pelaksanaan UU, PP, Keppres, dll. Ketegasan itu juga harus adil. Bukan berpihak pada perseorangan, institusi, ataupun lembaga apapun. Dengan begitu, tidak ada protes dari masyarakat. Pemerintah juga harus percaya diri. Jika yakin bahwa keputusan yang diambil dan dilaksanakan benar, terus laksanakan. Tetapi juga dengarkan, dan terus perbaiki, tetapi jangan dihentikan. Terus konsisten, itulah kuncinya. Jika nanti ada hasil yang berarti masyarakat bakal akan ikut.

*Kawasan lindung disebutkan dalam keppres no. 32 tahun 1990 mengenai Pengelolaan Kawasan Lindung. Kawasan ini Sekurang-kurangnya 100 meter di kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan anak sungai yang berada di luar pemukiman.Dan untuk sungai di kawasan permukaan berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10 – 15 meter.





Banjir

21 10 2010

Setiap tahun, kota Jakarta yang dijadikan pusat pemerintahan dan pusat perekonomian Indonesia selalu mempunyai masalah yang  sama. Selain macet yang sudah sangat parah, juga bencana banjir yang sudah seperti rutinitas datang ‘berkunjung’ ke Jakarta, dan menyebabkan kerugian yang sangat besar. Sepertinya, seiap tahun warga Jakarta harus menyisihkan sebagian keuangan mereka untuk mengganti perabotan dan bagian umah yang rusak. Dan ini harus merka lakukan rutin, mungkin dengan frekuensi yang bisa terus naik.

Setiap masalah pasti ada solusinya. Termasuk banjir ini. Banjir merupakan masalah lingkungan. Saat dahulu, Jakarta belum pernah banjir bukan? Itu berarti ada yang salah yang menyebabkan banjir bisa terjadi. Tapi gara-gara masyarakat Jakarta sudah ‘terbiasa’ dengan banjir, maka banjir dianggap sangat normal.

Penyelesaiannya datang dari alam. Begitu kata orang-orang dunia kehutanan. Memang benar, jawabannya datang hanya dari alam. Bukan berarti kita harus rela alam ‘berbuat sesuatu’ untuk kita, tetapi kita harus rela ‘berbuat sesuatu’ untuk alam.

Banjir adalah peristiwa penggenangan daerah –daerah yang dulunya kering karena ada peluapan air. Lalu, dari mana air ini berasal? Sebagian besar dari air hujan. Karena saking banyaknya,air hujan yang ditampung, badan sungai tidak lagi bisa menahan volumenya. Akibatnya, sebagian air yang berlebihan (overloaded) ini keluar dari jalur sungai dan menggenangi daerah aliran sungai (DAS), bahkan jika volume air yang berlebihan ini terlalu banyak, jarak genangannya bisa sangat jauh. Seperti di Jakarta, juga karena saluran air yang tersumbat, air luapan ini sampai menggenangi rumah warga bahkan fasilitas umum.

Tapi mengapa air hujan ini sampai begitu banyak? Apakah memang seperti itu banyaknya? Memang sebanyak itu. Tetapi, sebelum mencapai laut, air hujan ini terlebih dahulu akan diserap masuk ke dalam tanah (infiltrasi). Dan itu adalah tugas tumbuhan (hutan). Lalu, mengapa hutan tidak bisa menyerapnya? Hutan sudah jarang. Karena hutan sudah jarang, sehingga jumlah air yang terserap lebih sedikit setelah tanah jenuh (batas kapasitas serap tanah), air menggenang di permukaan. Karena ada perbedaan ketinggian, air di permukaan mengalir ke daerah yang lebih rendah (surface run-off), menuju sungai, dll. Tetapi, karena daya tamping sungai kecil, ditambah lagi dasar sungai yang sudah dipenuhi oleh sampai, air yang harusnya bisa masuk malah meluber dan menggenangi daerah sekitarnya. Terjadilah banjir.

Artikel berikutnya : Solusi Banjir di Tanah Air